Hutan Mangrove dan Bayang-Bayang Sampah yang Menghantui

Hutan Mangrove dan Bayang-Bayang Sampah yang Menghantui

Sebagai negara yang luas hutan mangrove-nya masuk dalam jajaran terluas di dunia, Indonesia juga menanggung beban pekerjaan rumah atas upaya penjagaan dan rehabilitasi. Apalagi, concern terhadap upaya mitigasi perubahan iklim, disusul dengan trend tebus karbon melalui berbagai skema, membuat pemerintah mengoptimalkan dengan maksimal peran mangrove untuk karbon biru. Kepada ekosistem mangrove harapan besar digantungkan. Untuk itu, rehabilitasi gencar dilakukan!

Sayangnya, bicara rehabilitasi dan upaya konservasi hutan mangrove kita tidak bisa hanya melihat pada persoalan alih fungsi lahan. Kita tidak boleh berhenti pada menanam untuk kemudian membiarkan mangrove tumbuh subur sebagai mana kita harapkan. Ada berbagai tantangan atau boleh dibilang hambatan di sana. Dan, sampah adalah salah satu yang terbesar!

Setali Tiga Uang: Sampah, Ekosistem Mangrove, dan Dampak Buruknya

Bicara persoalan sampah seperti bicara keniscayaan. Faktanya, sampah yang kita buang sembarangan di sekitar rumah atau di sungai-sungai pemukiman, tidak hanya menyebabkan banjir yang setiapnya datang kita sambut dengan sumpah serapah. Sampah-sampah tersebut juga membanjiri kawasan pesisir, menyangkut di kawasan hutan mangrove, dan membawa dampak buruk bagi kondisi ekologisnya.

Minimnya kesadaran masyarakat akan pengelolaan sampah dan tingginya kebiasaan buang sampah sembarangan berbanding lurus dengan rusak dan tercemarnya kawasan pesisir. Ini jelas berbahaya!

Mengutip dari laman databoks, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020, wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi (g/m2). Adapun, jenis sampah yang paling banyak ditemukan adalah sampah plastik dengan bobot seberat 627,80g/m2.

Celine Van Bijsterveldt, peneliti dari Royal Netherlands Institute of Sea Research, menemukan bahwa akumulasi tumpukan sampah di kawasan hutan mangrove adalah satu masalah yang tidak bisa dibiarkan.

Kendati hutan bakau memiliki kemampuan adaptasi dengan sampah plastik, jumlah sampah yang berlebihan dapat mematikannya. Para ilmuwan khawatir bahwa akumulasi yang terus menerus dapat membahayakan hutan mangrove dan komunitas ekologi maupun manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut.

Belum lagi jika kita berbicara tentang penanaman mangrove yang acap kali juga gagal akibat tertimpa atau terjerat sampah-sampah plastik. Kebanyakan sampah-sampah tersebut berasal dari sampah rumah tangga yang terbawa dari area pemukiman melalui sungai-sungai, kemudian berakhir di hutan mangrove. Padahal, sampah-sampah plastik yang menutupi bibit mangrove jelas akan membuatnya mati lemas.

Di beberapa lokasi di sepanjang garis pantai utara Jawa, plastik menutupi separuh lantai hutan dan ditemukan terkubur sedalam 35 cm di dalam sedimen. Plastik yang terjerat di lapisan atas ini makin mengurangi akses oksigen bagi hutan bakau.

Jika plastik tetap diam di lantai hutan atau di dalam sedimen selama beberapa siklus pasang surut, plastik dapat menciptakan lingkungan anoksik (keadaan tanpa oksigen) dan berpotensi menyebabkan mati lemasnya pohon. Khususnya, spesies yang mengandalkan akar udara yang mengarah ke atas untuk suplai oksigen seperti Avicennia, Laguncularia, dan Sonneratia spp, bisa berisiko mati lemas akibat terkubur dalam plastik, McKee dan Smith (1996) (2012) dalam Bijsterveldt (2021)

Cerita di Lapangan!

Apa yang menjadi temuan Celine Van Bijsterveldt benar adanya dan bisa dibuktikan di lapangan. Slamet Abadi, salah satu sosok yang membantu melestarikan pesisir Tangkolak bersama Kelompok Unsika Peduli Mangrove menjadi saksi betapa persoalan sampah menghambat proses penanaman dan pelestarian mangrove.

Dirinya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah di Sungai Citarum. Lantaran, sampah-sampah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai dan sampai di pesisir Tangkolak.

“Jangan membuang sampah di Sungai Citarum, karena Anda membuang sampah di Citarum akan merusak mangrove-mangrove yang baru ditanam, sehingga dia akan mati, dan kita akan sia-sia menanam mangrove,” Ujar Slamet Abadi.

Aminul Ichsan membenarkan apa yang Slamet Abadi ungkapkan perihal sampah dan pengaruhnya pada tumbuh kembang mangrove. 

“Karena adanya sampah ini, hutan mangrove yang belum mencapai besaran tertentu tentu saja sangat sulit untuk dapat bertahan hidup, alasannya karena sampah tersebut akan menempel pada batang dan daun sehingga mangrove-nya memiliki beban berlebih dan tangkainya bisa patah, belum lagi ada gelombang pasang yang makin menambah beban mangrove tersebut hingga akhirnya mati,” Ungkap Aminul Ichas atau kerap disapa Ai, Operational Manager LindungiHutan. 

Ai menambahkan kondisi ini tidak hanya marak di Pantura, tetapi juga dapat ditemui di wilayah seperti Pamurbaya Surabaya dan juga pesisir Kabupaten Bantul. 

TreeshBash: Trees In, Trash Out,

Upaya pelestarian dan konservasi hutan mangrove mesti berhubungan erat dengan manajemen sampah. Meski persoalan sampah menyangkut banyak pihak dalam praktik penanganannya, dan merupakan persoalan hulu hingga hilir, paling tidak sampah tersebut mesti dikelola dengan baik dan semestinya.

Untuk itu, LindungiHutan bersama Liberty Society menginisiasi sebuah program kolaborasi “TreeshBash: Trees In, Trash Out!” sebagai inisiatif penjagaan dan pelestarian hutan mangrove!

Program tersebut terdiri dari tiga rangkaian kegiatan yaitu penanaman mangrove, bersih-bersih sampah, dan upcycling workshop yang melibatkan brand dan perusahaan! Jika brand dan perusahaan Anda tertarik untuk terlibat dalam kolaborasi ini, segera hubungi kami melalui http://bit.ly/KontakLindungiHutan!

 

Tulis komentar

Ingat, komentar perlu disetujui sebelum dipublikasikan.